Secarik Kisah Dari Bumi Papandayan
Jumat 29 Agustus 2014 saya dan
kawan-kawan saya satu komunitas bernama KSPM (Kelompok Studi Pelajar Muslim)
Kab. Bogor dan beberapa kawan lain dari luar KSPM, melakukan pendakian Gunung
Papandayan dalam rangka ekspedisi 30 Juz Al-Quran. Rombongan kami berjumlah 17
orang, jadi setiap kami membaca 2 juz
Al-Quran selama perjalanan berlangsung sampai tujuan akhir pendakian. Satu
diantara kami adalah pendaki professional. Sehingga perjalanan kami sekaligus
di pandu olehnya.
Berkumpul di terminal kampung rambutan jam
21:00 lalu naik bus jurusan garut dan
turun di terminal guntur, Kab.garut. Tiba disana jam 02:00 dini hari, kami
rehat menunggu datangnya pagi di salah satu rumah kontrakan seorang yang biasa
di panggil mang Cupeng. Saya nanti akan bercerita betapa dia adalah orang yang
sangat inspirasional bagi saya.
Menuju pos pertama pendakian,
kami perlu naik transportasi umum 2x. Pertama naik angkot lalu di sambung sewa
pick up untuk sampai disana. Sampai disana jam 08:00. Setelah itu berkumpul
berkenalan satu sama lain dan membagi masing-masing kami 2 Juz. Dan mulai
mendaki jam 09:00
Gunung papandayan merupakan
gunung yang memiliki pemandangan yang sangat indah. Melewati savanah,
tebing-tebing curam di sisi-sisinya, sungai belerang, dan kawah-kawah yang
mengepul, ladang edelweiss, hutan mati, dan pemandangan barisan bukit-bukit
papandayan yang hijau yang membentang menjadi panorama mengagumkan di mata
kami.
Berbicara tentang para pendaki
gunung, Hal yang saya kagumi dari mereka adalah persaudaraan tanpa perbedaan.
“Dunia persilatan (baca: pendakian) tuh sempit broo....” itu kata kawan saya
ketika kami rehat di tengah perjalanan. Setiap kami berjalan dan bertemu dengan
pendaki lain, selalu ada sapaan ramah antara kami dan mereka, meskipun tak
kenal satu sama lain. Bahkan sekali-kali kami bercanda meledek. Tidak ada rasa
saling meremehkan diantara pendaki, ketika ada yg sedang rehat dan yang lainnya
lewat kata yang sering muncul adalah “semangat bro...”.
Kami sampai di pos perkemahan
“pondok saladah” dan langsung medirikan tenda jam 13:30 siang. Malam harinya, kami
menyalakan api unggun sembari makan malam dan sharing tentang pribadi
masing-masing. Apapun itu. Disinilah kami merasa jauh lebih dekat karena bisa
berbagi banyak hal. Ketika malam semakin larut dan dingin, beberapa diantara
kami mulai masuk tenda dan rehat. Tapi saya dan 3 orang lainnya masih
melanjutkan obrolan. Di area kemah kami dekat dengan padang edelweiss. Dan jauh
dari pepohonan, sehingga semakin malam langit yang luas membentang diatas bisa
terlihat sangat menakjubkan dengan jutaan bintang yang berkilau. Hal yang
menakjubkan dari sebuah penciptaan semesta dari sang Tuhan
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?” (Q.S.Ar-Rahman: )
Jam 08:00 pagi
hari, kami melanjutkan perjalanan menuju padang edelweiss “Tegal alun”.
Melewati hutan mati yang menakjubkan dan berjalan menuju tebing curam kawah
papandayan. Perjalanan yang satu ini termasuk yang cukup “Gila”, karena kami
harus mendaki tebing yang cukup curam dan jalan yang aneh untuk sampai ke tegal
alun. Sesekali batu-batu sedang terperosok ke bawah karena tersenggol kaki.
Ternyata kawan yang memandu kami mencari jalan lain yang tak di lalui oleh para
pendaki. Padahal katanya jalan ke tegal alun santai dan agak landai. “kalo lu
lewat jalan biasa di papandayan. Gak ada tantangannya gak asik” Yoihhh!
Tibalah
kami di Tegal Alun, padag edelweiss yang
membentang luass sekitar pukul 10:30. Melihat panorama luas nan menakjubkan
akan lahan edelweis yang membentang luas. Menyelesaikan bacaan kami masing –
masing, dan saling bantu akan bacaan yang lainnya bagi yang masih tersisa
banyak. Berfoto bersama sembari meneriakkan kata-kata penuh semangat dan
kembali lagi ke camp pukul 11:30.
“Sebagaimana kami tersenyum menuju destinasi pendakian, sebagaimana itu
pula kami tersenyum menuju destinasi impian”
Mungkin itu kata yang tepat untuk
menggambarkan bahwa sebenarnya hidup ini layaknya mendaki sebuah gunung. Dalam
perjuangan kadang tak selamanya harus bersedih, tapi kita perlu tersenyum akan
gambaran impian yang akan kita capai. Dan jika memang perjalanan kita terlihat
landai, tak ada halangan apapun, maka kita perlu mencari tantangan-tantangan baru
agar perjalanan kita memberikan cerita berharga untuk dibagikan dengan banyak
orang. Bahwa sebenarnya impian yang kita dapatkan bukanlah barang mudah, bukan
pula murahan. ia barang mahal yang perlu kita berlari dan berjalan lebih keras
untuk mencapainya. Bahwa esensi dari sebuah pencapaian impian bukanlah pada
hasilnya, akan tetapi pada prosesnya. Bayangkan jika mendaki gunung papandayan
ini hanya tinggal naik lift, maka apa esensi yang akan di dapatkan? Nihil.
Padang edelweis tegal alun hanya sekedar barang murah dan mudah di dapatkan.
Tapi tetaplah, ketika sampai di destinasi tinggi tersebut, maka ada hati yang
seharusnya selalu kita rendahkan karena ini semua adalah ukiran cantik dari
sang Pencipta.
Oiya, ngobrol-ngobrol tentang
orang yang saya sebutkan di awal. Mang Cupeng. Adalah seorang yang kurang
beruntung untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA keatas. Hidup dalam dunia
gelap. Akan tetapi, suatu saat dia memiliki keinginan untuk memperbaiki diri
dan berbagi banyak hal berharga untuk banyak anak-anak yang kurang beruntung.
Seperti anak jalanan, dan anak-anak yang putus sekolah. Dia adalah seorang
pendiri SAAN (sahabat anak-anak nusantara). Jika ditanya, “emang SAAN itu
gimana sih?” jawabannya SAAN itu ya komunitas orang-orang yang mau berbagi dan
kalau bisa menjadi relawan untuk terjun ke anak-anak yang pendidikannya sangat
kurang. Mendirikan taman-taman bacaan dan lain lain. Anggotanya banyak,karena
SAAN itu merangkul banyak komunitas-komunitas peduli anak jalanan di nusantara.
Dan bebas, siapapun orang yang mau peduli silahkan ikut. Tak peduli seberapa
tinggi pendidikan mereka. Yang penting mau berbagi. “kalau ada syaratnya S1
untuk bisa jadi relawan, terus kami-kami yang ga punya pendidikan ini gimana
bisa berbagi?” katanya. Mengasas ini pun tak mudah, mendirikan taman bacaan
yang pertama pun butuh perjuangan dengan mencari-cari buku-buku, sampai tengah
malam dan bahkan hujan-hujanan pula. Yang paling menakjubkan bagi saya adalah
semangat berbaginya bersama tim. Bulan lalu (Juli), melihat ada salah satu
sekolah yang hampir ambruk di pelosok cianjur, bersama tim melakukan renovasi
bersama tukang-tukang dan menghabiskan dana sekitar 20 Juta! Hingga mengundang
perhatian wakil gubernur Jawa Barat. Jangan tanya darimana dananya. “Kami
berusaha mandiri dengan menjual kaos dan menjual barang yang lainnya” katanya.
Ada juga bantuan-bantuan dan sumbangan dari pihak lain. Tapi, pernah pula di
tawari dana dari seorang aleg, tapi dia menolak. “Kami ga butuh uang” katanya.
Lebih mengutamakan pemandirian.
Mang
cupeng,duduk kedua dari kanan.
Di
depan warung baca terminal garut
Itulah beberapa inspirasi yang
saya dapatkan dari perjalanan saya bersama kawan-kawan di gunung papandayan dan
sebuah kisah inspirasional dari seorang yang sangat luar biasa tentang sebuah
kepedulian. Bagaimana dengan kita?
Semoga menginspirasi saya pribadi dan kita semua J
Salam sukses dari Tegal Alun Papandayan
-Byan Aqila Ramadhan,
CATRAZXSIDE 16 member
KSPM Crew
Ranger of Youthcare
International
CEO of QOWSAN Training
My contact in
WA/SMS 085697357326
BBM 7D1A9157
@byanaqila